
Dalam menjalani kehidupan kita pernah bernazar atau berjanji baik itu antara kita sesama manusia (hubungan antar orang tua-anak, saudara, rekan kerja), maupun nazar kita kepada Tuhan. Kita mungkin juga masih mengingat bagaimana masa kecil kita, ketika mendapatkan hukuman dari orang tua karena kenakalan kita, kita berjanji untuk tidak lagi mengulangi hal tersebut. Akan tetapi pada keesokan harinya terkadang kita mengulangi kenakalan-kenakalan kita.
Beberapa bulan lalu kita mendengarkan berbagai “janji manis” yang disampaikan oleh mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR/DPRD bahwa jika sampai terpilih orang tersebut akan memberi sesuatu untuk kepentingan banyak orang. Bahkan di saat ini juga dimasa kampanye pemilihan kepala daerah, kita sering mendengar janji-janji manis yang dikeluarkan oleh mereka yang mengikuti kontestasi politik. Bahkan terkadang ada orang yang lebih mementingkan untuk mendengarkan panggilan tim sukses untuk mengikuti kampanye dan mendengarkan janji-janji politik dibandingkan mendengarkan panggilan dari pelayanan Tuhan untuk datang beribadah.
Itulah realita yang terjadi saat ini. Anak berjanji kepada orang tua/begitu juga sebaliknya, kita berjanji kepada orang-orang yang ada di dekat kita, berjanji kepada suami/istri/pacar, rekan kerja bahkan terkadang berjanji kepada Tuhan. Memang ada yang menepatinya, tapi tidak sedikit juga yang tidak menepatinya. Orang terkadang gampang mengucapkan janji tapi dengan mudahnya juga mengingkari janji yang sudah diucapkan.
Sebagai pengikut Kristus, tentu hal ini tidak memberi contoh yang baik. Terlebih kalau mengucapkan janji kepada Tuhan Allah dan tidak ditepati. Kenapa hal ini bisa terjadi? Biasanya pikiran seseorang berubah setelah keinginannya terpenuhi atau lupa dengan janjinya. Dia tidak menyadari kalau apa yang diucapkannya dapat berakibat fatal, terutama kalau berjanji pada Tuhan Allah. Ada yang berjanji kalau usahanya berhasil/hasil kebuh berhasil maka dia akan mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan. Tapi ketika Tuhan memberikan berkat yang lebih dia mulai hitung-hitungan dengan Tuhan.
Jika kita menilik latar belakang dari Yefta ini, ia adalah seorang yang gagah perkasa anak dari Gilead sedangkan ibunya adalah seorang perempuan sundal (Hakim-hakim 11:1). Dan setelah besar ia di usir oleh saudara-saudaranya dari istri Gilead yang sah karena mereka menganggap bahwa dia anak dari perempuan lain dan tidak berhak mendapatkan milik pusaka dari Gilead. Setelah diusir oleh saudara-saudarnyanya, ia menetap di tanah Tob dan bergabung dengan para petualang yaitu para perampok, lalu Yefta diangkat sebagai pemimpin mereka. Yefta tinggal di lingkungannya yang baru, dia pantang menyerah dan dia berhasil menjadi seorang pahlawan gagah perkasa. Karena Yefta tumbuh menjadi seorang yang bijak dan takut Tuhan, ia selalu bertanya dan membawa seluruh perkaranya kepada Tuhan Allah.
Nah, pada saat itu bangsa Israel sedang berada dalam penindasan bani Amon dan pada saat itu bangsa Israel belum memiliki seorang raja. Pemimpin saat itu adalah seorang hakim yang dipilih dari suku Israel dan berfungsi sebagai panglima perang dan pemimpin umat seperti hakim Yefta. Kenapa umat Israel pada saat mengalami penindasan oleh Bani Amon selama 18 tahun? Karena mereka melakukan yang jahat dimata Tuhan yaitu beribadah kepada para Baal dan para Asytoret, allah orang aram, allah orang Sidon, allah orang Moab, allah bani Amon, allah orang Filistin dan telah meninggalkan Tuhan yang membawa mereka keluar dari Tanah Mesir (Hakim-hakim 10:6-18).
Ketika berada pasa saat terpuruk inilah umat Israel bertobat dan kembali beribadah kepada Tuhan. Akhirnya para pemimpin suku Israel berkumpul dan berunding untuk mencari seorang pemimpin untuk memimpin mereka berperang melawan orang Amon. Hingga akhirnya para tua-tua yang ada di Gilead mencari Yefta seorang yang gagah perkasa ke tanah Tob dan mengangkat dia menjadi hakim atas mereka.
Ketika dipilih untuk memimpin, Hal pertama yang dilakukan Yefta adalah berunding untuk mengatasi masalah bukan dengan kekerasan atau peperangan. Oleh karena itu Yefta mengirimkan utusan kepada raja bani Amon. Akan tetapi apa yang disampaikan oleh utusan Yefta tidak didengar oleh raja bani Amon maka peperanganpun tidak terhindarkan. Dan sebelum peperangan terjadi Yefta bernazar kepada Tuhan: bahwa kalau sampai bani Amon jatuh ketanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran. Disinilah kesalahan Yefta, dia tidak berpikir secara seksama bagaimana jika nantinya yang akan menyambutnya ketika pulang adalah istri atau anak tunggalnya?
Karena tuntunan dan penyertaan Tuhan maka Yefta diberi kemenangan oleh Tuhan Allah. Yefta mengalahkan bani Amon dengan mudah bukan semata-mata karena ia gaga perkasa atau karena pengalaman dan kehebatannya, tapi karena Tuhan Allah yang menyerahkan atau yang berperang melawan para musuhnya.
Saat kembali ke rumahnya di Mizpa, Yefta tidak membayangkan kalau yang pertama keluar menyambutnya dari rumahnya adalah anak gadis satu-satunya dengan tarian rebana. Dugaannya salah, Yefta mungkin berpikir yang pertama dia temui untuk menyambutnya adalah binatang dan bukan anaknya. Melihat kenyataan itu, Yefta mengoyakkan bajunya, ia sangat sedih dan hatinya hancur tanda penyesalan. Mungkin Yefta berharap anak gadisnya akan menjadi penerusnya dengan menikah untuk kelangsungan keturunannya.
Kendati keputusannya sangat dilematis, namun Yefta lebih memilih memenuhi komitmen pribadinya kepada Tuhan Allah. Perjuangan batin yang sangat sulit, tapi itulah pengambilan keputusan terbaik Yefta maupun anaknya yang bersedia memenuhi nazar dan menghormati ayahnya. Sang anak satu-satunya menjadi support sistem sang ayah untuk memenuhi komitmen nazar ayahnya.
Orang Kristen yang sejati haruslah memiliki integritas yang tinggi seperti yang ditunjukkan oleh Yefta sehingga apa yang keluar dari mulut itu juga yang akan dia tepati. Maka untuk semakin memotivasi kita untuk memiliki integritas mari kita belajar dari Hakim Yefta seperti yang kita baca tadi.
Apa yang dapat kita pelajari dari hakim Yefta?
- Tuhan dapat memakai siapa saja apapun latar belakang kita. Kalaupun masa lalu kita suram, tinggalkanlah semua itu, berfokuslah pada hal-hal yang baik yang akan kita lakukan hari ini dan hari-hari selanjutnya. Jangan kita merasa minder dan rendah diri dalam persekutuan jemaat. Jangan pernah berkata saya hanya jemaat biasa, saya berasal dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Ingatlah ketika kita ditunjuk untuk menjadi pemimpin dalam organisasi gereja/panitia, yakin dan percayalah sesungguhnya Tuhanlah yang memilih kita lewat para pelayan khusus. Yefta adalah orang yang dikucilkan oleh saudara-saudaranya karena dia anak dari perempuan sundal. Namun ketika Tuhan sudah memakai Yefta dia berhasil menjadi seorang hakim/pemimpin bagi bangsa Israel, karena roh Tuhan ada bersama-sama dengan dia.
- Tepatilah setiap janji yang engkau ucapkan. Integritas seperti inilah yang harus dimiliki oleh orang Kristen disaat ini, ketika orang-orang lain suka mengingkari janji sebagai orang Kristen kita harus menjadi pembeda yakni orang yang selalu menepati janji apalagi janji antara kita dengan Tuhan. Contoh hal terkecil, ketika dipilih menjadi panitia acara gereja. Ketika ditanyakan kita sering menjawab saya mengaku bersedia berjanji dengan segenap hati. Oleh karena itu lakukanlah itu dengan segenap hati seperti apa yang kita ucapkan. Mulailah menepati janji dari hal-hal terkecil sehingga ketika kita diberikan kepercayaan yang besar oleh Tuhan, kita akan bisa menjalankannya dengan baik. Dan pasti Tuhan akan mempercayakan perkara yang besar kepada kita jika kita setia terhadap perkara-perkara yang kecil.
- Berpikirlah dengan tenang dan penuh hikmat sebelum mengucapkan sebuah nazar, jangan sampai itu menjadi bumerang bagi kita.Jangan sampai karena menuruti perasaan yang sedang kita rasakan, kita menjerat hati nurani kita sendiri dan melibatkan diri kita dalam rupa-rupa kebingungan
- Jadilah suport sistem yang terbaik bagi sesama anggota keluarga kita. Jika suami/istri/anak ato orang tua bernazar kepada Tuhan dan Tuhan menjawab permintaan pasangan/anak kita, mari kita support pasangan kita sehingga sebagaimana yang ditunjukkan oleh anak Yefta. Jangan sampai kita menyampaikan pernyataan/pertanyaan sehingga membuat pasangan kita berpikir-pikir untuk menepati nazar yang sudah dibuat
Ingat, di depan manusia kita boleh bersandiwara tapi di hadapan Tuhan tidak boleh. Oleh karena itu tepatilah nazarmu, AMIN