TB (Tuberkulosis) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit dengan gejala batuk berdahak, batuk berdarah, demam, nyeri dada, penurunan berat badan, merupakan salah satu penyakit yang mendapat perhatian serius bukan hanya oleh pemerintah Indonesia, namun juga oleh dunia (WHO).
Berdasarkan data yang saya kumpulkan, prevalensinya penderita TB di Indonesia terus berkurang dalam beberapa tahun terakhir, namun jumlah penderita TB di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan saat ini jumlah penderita TB di Indonesia menempati peringkat empat terbanyak di seluruh dunia setelah China, India, dan Afrika Selatan.
Dikutip dari kompas.com, prevalensi TB di Indonesia pada 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan demikian, total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000-900.000 kasus. Sedangkan untuk daerah saya Kabupaten Minahasa Selatan, berdasarkan data yang didapatkan dari Wasor/penanggung jawab program TB Kusta Kabupaten, terdapat sekitar 300 penderita TB. Meskipun lumayan banyak, tapi saya masih bisa tersenyum karena ternyata jumlah penderita TB tersebut masih dibawah target yang ditetapkan oleh Kemenkes untuk Ka. Minsel yakni 425 kasus.
Tuberkulosis sendiri bukanlah penyakit yang baru di negeri ini. Sederet upaya pemeberantasan penyakit Tuberkulosis terus dilakukan oleh pemerintah/para tenaga kesehatan apa terlebih para petugas TB yang ada di tiap puskesmas yang menurut saya merupakan ujung tombak pemberantasan penyakit Tuberkulosis.
Seperti dikutip dari website tuberkulosis.org, pada umumnya kematian penderita TB disebabkan oleh karena kegagalan pengobatan. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kurangnya pengertian masyarakat mengenai penyakit ini, faktor ekonomi, pengobatan yang tidak teratur, kebiasaan merokok serta gizi penderita.
Bagi saya ini tidak mengherankan. Pengobatan TB dalam jangka waktu yang lama tak jarang menyebabkan penderita enggan menyelesaikan waktu pengobatan. Gejala TB yang berkurang setelah mengkonsumsi obat-obatan selama 2-3 bulan, membuat penderita enggan untuk menyelesaikan sisa waktu pengobatan. Asi kwa kita sobae, napa le depe batuk-batuk so ta kurang, so kurang batuk hari-hari ini (Kan batuk saya sudah habis, batuk-batuk saja sudah berkurang, ini tinggal batuk hari-hari) begitu ucap salah satu penderita penyakit TB yang pernah saya dengar.
Padahal sebenarnya berhenti berobat secara lengkap sangatlah beresiko bagi penderita. Kuman ini biasanya akan kembali beraksi dengan lebih ganas lagi. Hal ini yang tidak diketahui oleh pasien. Bahkan terkadang, meski telah diingatkan oleh petugas TB tentang bahaya yang menghantui apabila obat tidak dikonsumsi sampai selesai, penderita masih saja tidak menghiraukan hal tersebut. Dan bagi saya ini merupakan kekeliruan terbesar yang sudah tertanam lama dipikiran masyarakat Indonesia. Umumnya masyarakat yang berobat ke dokter tidak menghabiskan semua obat-obatan yang diberikan, dengan alasan sakit yang diderita telah sembuh… Btw jangan-jangan anda juga begitu bro/sis????
Kendala Untuk Menemukan Pasien TB
Menurut penuturan dari dalah satu petugas TB Puskesmas yang saya wawancarai lewat telpon, untuk menemukan penderita TB bisa dikatakan gampang-gampang susah. Untuk mendiagnosa seseorang menderita penyakit TB haruslah dengan melakukan pemeriksaan dahak di laboratorium. Jadi, apabila ada penderita yang berkunjung ke puskesmas dengan gejala TB, maka bisa segera dilakukan pemeriksaan dahak untuk melihat apa penderita tersebut menderita penyakit TB atau tidak. Hal ini menjadi agak sulit dilakukan apa bila penderita TB tidak berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan. Menurutnya sebagian masyarakat pedesaan masih ada yang beranggapan bahwa orang yang divonis menderita penyakit TB akan mendapatkan pandangan buruk di tengah masyarakat tempat tinggalnya. Padahal sebenarnya penyakit TB bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi obat yang diberikan secara rutin dan benar.
Kesulitan dalam lain yang dihadapi petugas kesehatan dalam menemukan penderita TB yaitu tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa batuk yang mereka derita (meskipun sudah menunjukkan gejala penyakit TB) merupakan batuk biasa, kalau kata orang Manado itu cuma batuk hari-hari yang menyebabkan mereka tidak ingin diperiksa oleh tenaga kesehatan. Kendala lain yang ditemui untuk melacak penderita TB yaitu masyarakat yang masih takut untuk diperiksa dan adanya penolakan dari masyarakat yang enggan divonis mengidap penyakit TB. Hal ini saya ketahui dari Ibu Vemi yang merupakan Wasor TB Kabupaten Minahasa Selatan yang telah menekuni pekerjaan ini selama bertahun-tahun (tidak tahu dengan kendala yang ditemui tenaga kesehatan daerah lain).
Bahkan tambah wanita paruh baya ini, dia pernah menemukan banyak masyarakat di sebuah desa dengan gejala TB yang awalnya enggan diperiksa sama sekali oleh petugas kesehatan. Namun ketika saya tanyakan lebih lanjut apakah para masyarakat tersebut berhasil diperiksa dan diobati, dia mengatakan bahwa mereka akhirnya bisa diperiksa dan diobati bahkan sampai sembuh. Pendekatan secara personal dan intensif merupakan hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan, ucap ibu yang juga dipercayakan sebagai penanggung jawab program Kusta Kabupaten Minahasa Selatan.
Sebagai mantan petugas pengelolah data kesehatan kabupaten, kendala lain yang saya lihat untuk menemukan pasien TB dan berbagai penyakit lainnya adalah kecintaan/keseriusan dari petugas kesehatan terlebih pengelolah penanggung jawab TB di Puskesmas dalam menekuni profesi tersebut. Menjadi penanggung jawab petugas penyakit menular seperti TB bukanlah sebuah hal yang gampang karena mereka harus terus berhadapan dengan penderita yang sewaktu-waktu bisa menulari diri mereka dan keluarganya. Seperti yang diucapkan oleh Ibu Vemi, bahwa diperlukan kesabaran dan pendekatan secara persuasif untuk menemukan hingga mengobati pasien TB. Komunikasi secara rutin terhadap pasien sangat diperlukan mengingat mereka akan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kendala lain yang ditemui adalah adanya petugas TB di puskesmas yang sudah dilatih namun akhirnya berpindah tugas ke tempat yang lain, atau dipromosikan/mendapatkan sebuah jabatan. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap penanganan penderita Tuberkulosis yang memerlukan penanganan serius dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Peran serta kita semua sangat diperlukan untuk memberantas penyakit yang sudah merenggut banyak jiwa. Kita tidak boleh hanya mengharapkan peran pemerintah atau petugas kesehatan saja untuk memberantas penyakit ini. Kita bisa ikut serta menurunkan bahkan memberantas penyakit ini dan berbagai penyakit berbahaya lainnya dengan ikut mengingatkan mereka yang ada disekitar kita untuk memeriksakan diri disarana pelayanan kesehatan terdekat apabila kita melihat mereka mengidap suatu penyakit. Kita juga bisa mengawasi dan mengingatkan para penderita TB untuk mengkonsumsi obat secara rutin dan benar. Peran lainnya yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak menjauhi para penderita TB karena secara tidak langsung hal itu akan berpengaruh terhadap psikologi mereka. TB (Tuberkulosis) bisa sembuh asalkan diobati secari teratur.
wah indonesia masih sebanyak itu penderita TBnya.
Pemberantasan TB bukan tidak mungkin apalagi pengobatan TB gratis, hanya perlu sosialiasi kepada penderita ataupun yang belum didiagnosa terkena TB’ apalagi hal ini sudah mulai diterapkan dengan mengubah pandangan negatif yang terlalu tinggi terhadap TB/TBC dengan mengubah sebutannya menjadi Flek Paru. :shakehand2
Wah penderita tb harus segera ditangani nie,,
thanks ya gan atas share infonya salam
tetangga saya semuanya sakit tb satu keluarga
oke gan thx infonya 😀